LENSAPION – Di tengah perubahan kebijakan fiskal di negara-negara Asia Tenggara, Vietnam mengambil langkah berbeda dengan memperpanjang pengurangan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sementara Indonesia memutuskan untuk meningkatkan tarif PPN pada 2025.
Kebijakan Vietnam yang mengurangi tarif PPN bertujuan untuk merangsang konsumsi dan mendukung aktivitas ekonomi, sementara Indonesia menghadapi situasi yang berbeda dengan kebijakan fiskal yang lebih ketat.
Kebijakan PPN Vietnam: Pengurangan untuk Mendorong Ekonomi
Pada tanggal 11 Desember 2024, Vietnam mengumumkan keputusan penting mengenai kebijakan perpajakannya. Majelis Nasional Vietnam telah mengesahkan perpanjangan pengurangan tarif PPN dari 10 persen menjadi 8 persen, yang akan berlaku hingga Juni 2025.
Sebelumnya, pengurangan tarif PPN ini sudah diterapkan sejak awal tahun 2022 sebagai respons terhadap dampak pandemi Covid-19 yang mengganggu perekonomian global. Pengurangan ini bertujuan untuk mengurangi beban konsumsi rumah tangga dan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
Menurut laporan yang diterbitkan oleh media Vietnam, kebijakan perpanjangan pengurangan tarif ini akan meliputi barang dan jasa yang sebelumnya dikenakan PPN 10 persen.
Dengan demikian, tarif 8 persen akan berlaku untuk berbagai produk dan layanan hingga pertengahan tahun 2025, dengan pengecualian untuk beberapa sektor seperti properti, sekuritas, perbankan, telekomunikasi, teknologi informasi, bahan kimia, batu bara, serta barang dan jasa yang dikenakan pajak konsumsi khusus.
Meski penurunan PPN akan berdampak pada penurunan pendapatan negara, diperkirakan sekitar 26,1 triliun dong Vietnam (setara dengan 1,028 miliar dolar AS) pada paruh pertama tahun 2025, pemerintah Vietnam berharap kebijakan ini akan mendorong sektor produksi dan bisnis, serta menciptakan dampak positif terhadap perekonomian secara keseluruhan.
Pengurangan tarif PPN sebelumnya sudah terbukti berhasil mempercepat konsumsi domestik, dengan total penjualan eceran barang dan jasa meningkat signifikan.
Pada tahun 2022, misalnya, pengurangan tarif PPN berkontribusi pada peningkatan penjualan sebesar 19,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pengurangan PPN yang diterapkan pada paruh kedua 2023 pun tercatat memberikan hasil positif dengan kenaikan penjualan ritel sebesar 9,6 persen.
Perkiraan Kehilangan Pendapatan Negara
Meskipun pengurangan tarif PPN dapat merugikan pendapatan negara dalam jangka pendek, Vietnam menilai bahwa kebijakan ini akan membantu pemulihan ekonomi jangka panjang.
Pengurangan PPN dianggap sebagai langkah untuk mengatasi tantangan ekonomi, seperti melemahnya permintaan global yang telah mengurangi ekspor negara tersebut. Vietnam, yang dikenal sebagai negara eksportir utama, mengalami penurunan ekspor pada tahun 2023, dengan penurunan sebesar 6,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dengan tujuan untuk mendongkrak konsumsi domestik, kebijakan ini memungkinkan konsumen Vietnam menikmati harga barang dan jasa yang lebih terjangkau. Pemerintah berharap langkah ini dapat merangsang daya beli masyarakat, sehingga produksi dan kegiatan ekonomi domestik dapat kembali berkembang.
Kebijakan PPN Indonesia: Kenaikan Tarif Mulai 2025
Sementara Vietnam memilih untuk menurunkan tarif PPN, Indonesia mengambil langkah yang berbeda. Mulai 1 Januari 2025, pemerintah Indonesia akan memberlakukan tarif PPN baru sebesar 12 persen.
Keputusan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.
Pajak PPN di Indonesia sebelumnya telah mengalami perubahan tarif. Sebelum tahun 2022, PPN di Indonesia berada pada tingkat 10 persen, tarif yang sudah berlaku sejak zaman Orde Baru melalui UU Nomor 8 Tahun 1983.
Namun, pada 1 April 2022, tarif PPN dinaikkan menjadi 11 persen. Kini, menjelang 2025, tarif PPN kembali naik menjadi 12 persen, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan tarif PPN tertinggi di Asia Tenggara, bersama dengan Filipina yang juga memberlakukan tarif 12 persen.
Penerapan tarif PPN 12 persen di Indonesia tentunya menjadi perhatian banyak pihak, mengingat dampaknya terhadap daya beli masyarakat.
PPN merupakan pajak yang dikenakan atas transaksi jual beli barang dan jasa, dan setiap kenaikan tarif tentu berpotensi meningkatkan biaya hidup bagi konsumen, terutama untuk barang dan jasa yang tidak dapat dielakkan.
Perbandingan PPN di Asia Tenggara
Untuk memahami lebih jauh mengenai perbedaan kebijakan PPN di kawasan Asia Tenggara, kita bisa melihat data tarif PPN atau VAT (Value Added Tax) di beberapa negara. Sebagai contoh, di Kamboja, Laos, dan Malaysia, tarif PPN berada di angka 10 persen, sedangkan negara seperti Singapura dan Thailand menerapkan tarif yang lebih rendah, yaitu 7 persen. Brunei bahkan tidak mengenakan PPN sama sekali.
Filipina dan Indonesia adalah dua negara dengan tarif PPN tertinggi di kawasan ini, masing-masing 12 persen. Negara-negara seperti Vietnam, yang menerapkan sistem dua tarif PPN, memiliki tingkat tarif yang lebih bervariasi, antara 5 persen dan 10 persen tergantung pada jenis barang dan jasa yang dikenakan pajak.
Dalam konteks ini, keputusan Vietnam untuk menurunkan tarif PPN justru menjadi langkah yang berbeda dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang sebagian besar menerapkan tarif yang lebih tinggi atau stabil.
Di sisi lain, Indonesia menghadapi tantangan dengan kenaikan tarif PPN yang berpotensi memengaruhi konsumsi masyarakat dan menambah beban biaya hidup.
Perbedaan kebijakan pajak antara Vietnam dan Indonesia mencerminkan pendekatan fiskal yang berbeda dalam merespons tantangan ekonomi global.
Vietnam dengan kebijakan pengurangan PPNnya berharap dapat merangsang konsumsi dan mendukung sektor bisnis, sementara Indonesia, dengan tarif PPN yang lebih tinggi, berusaha meningkatkan penerimaan negara untuk memenuhi kebutuhan anggaran.
Setiap kebijakan ini memiliki potensi dampak yang besar terhadap ekonomi masing-masing negara, baik dalam hal konsumsi domestik maupun daya saing industri.