LENSAPION – Suriah, atau Syria dalam bahasa Inggris, merupakan negara yang kaya akan sejarah dan budaya. Terletak di Asia Barat, wilayah ini telah menjadi rumah bagi salah satu peradaban tertua di dunia.
Meski begitu, Suriah sering kali menjadi sorotan karena konflik yang berkepanjangan, terutama perang saudara dalam beberapa dekade terakhir. Artikel ini akan mengulas sejarah panjang Suriah dari masa kuno hingga era modern.
Masa Kuno: Awal Peradaban di Suriah
Suriah kuno mencakup wilayah subur yang membentang dari pantai Mediterania timur hingga gurun di selatan. Kawasan ini memainkan peran penting dalam sejarah manusia karena menjadi tempat lahirnya beberapa peradaban awal.
Salah satu situs penting di Suriah kuno adalah Ebla, kota yang diperkirakan telah ada sejak 3.000 SM. Penemuan arkeologi di Ebla menunjukkan peradaban yang maju, dengan sistem administrasi yang kompleks dan pengaruh budaya yang meluas.
Sepanjang sejarah, Suriah berada di bawah kendali berbagai kekaisaran, termasuk Mesir, Het, Asyur, Babilonia, Persia, Yunani, dan Romawi. Wilayah ini juga disebut dalam banyak kisah Alkitab, termasuk perjalanan rasul Paulus ke Damaskus.
Ketika Kekaisaran Romawi runtuh, Suriah menjadi bagian dari Kekaisaran Bizantium sebelum akhirnya ditaklukkan oleh pasukan Muslim pada abad ke-7 M.
Damaskus, ibu kota Suriah, menjadi pusat peradaban Islam setelah penaklukan tersebut. Selama periode ini, kota ini berkembang pesat sebagai pusat budaya, perdagangan, dan pemerintahan.
Kekuasaan Ottoman hingga Perang Dunia I
Pada tahun 1516, Kekaisaran Ottoman menaklukkan Suriah dan menguasai wilayah tersebut selama lebih dari 400 tahun.
Di bawah pemerintahan Ottoman, Suriah mengalami periode stabilitas relatif, meskipun pengaruh politik dan ekonominya terbatas dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Selama Perang Dunia I, Kekaisaran Ottoman berada di pihak yang kalah, yang menyebabkan runtuhnya kekuasaannya di wilayah Arab.
Pada tahun 1916, Inggris dan Prancis menandatangani Perjanjian Sykes-Picot, yang membagi wilayah Arab menjadi zona pengaruh mereka. Suriah jatuh ke tangan Prancis, meskipun pasukan Inggris terlebih dahulu merebut Damaskus pada tahun 1918.
Perjuangan Kemerdekaan dari Prancis
Suriah di bawah mandat Prancis mengalami gejolak politik. Dari tahun 1925 hingga 1927, rakyat Suriah melakukan pemberontakan besar melawan kekuasaan Prancis, yang dikenal sebagai Revolusi Suriah Besar.
Perlawanan ini mencerminkan keinginan rakyat untuk meraih kemerdekaan penuh.
Setelah berbagai negosiasi dan tekanan internasional, Suriah akhirnya merdeka pada tahun 1946. Namun, periode pasca-kemerdekaan diwarnai dengan ketidakstabilan politik. Kudeta militer dan konflik antar kelompok menjadi hal yang umum terjadi.
Perang Enam Hari dan Dataran Tinggi Golan
Pada tahun 1967, Suriah terlibat dalam Perang Enam Hari melawan Israel. Konflik ini berujung pada hilangnya Dataran Tinggi Golan, wilayah strategis yang dikuasai oleh Israel hingga kini. Kekalahan ini menambah ketegangan politik di dalam negeri dan memperkuat sentimen anti-Israel di Suriah.
Kepemimpinan Keluarga Assad
Pada tahun 1970, Hafez al-Assad, seorang tokoh militer dari sekte Alawite, mengambil alih kekuasaan melalui kudeta. Kepemimpinannya ditandai dengan stabilitas politik, tetapi juga dengan tangan besi terhadap oposisi.
Salah satu peristiwa paling terkenal adalah pemberontakan di Hama pada tahun 1982, yang ditumpas dengan kekerasan besar-besaran, menewaskan puluhan ribu orang.
Hafez al-Assad meninggal pada tahun 2000, dan kekuasaan beralih ke putranya, Bashar al-Assad. Awalnya, Bashar dianggap sebagai harapan baru untuk reformasi.
Namun, harapan tersebut memudar ketika ia menggunakan cara represif untuk meredam oposisi, termasuk penangkapan massal terhadap aktivis politik.
Perang Saudara Suriah
Krisis besar di Suriah dimulai pada tahun 2011, ketika gelombang demonstrasi anti-pemerintah menyebar di seluruh negeri. Demonstrasi ini merupakan bagian dari Arab Spring, gerakan pro-demokrasi yang melanda dunia Arab.
Namun, di Suriah, aksi protes berubah menjadi perang saudara yang melibatkan berbagai kelompok pemberontak, termasuk Free Syrian Army (FSA) dan organisasi teroris seperti ISIS.
Perang saudara ini menghancurkan negara, menyebabkan jutaan orang mengungsi dan menewaskan ratusan ribu warga sipil. ISIS bahkan sempat menguasai sebagian besar wilayah Suriah sebelum akhirnya berhasil dikalahkan oleh koalisi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Intervensi Asing dan Konflik Berkelanjutan
Perang di Suriah menarik perhatian internasional, dengan berbagai negara terlibat secara langsung maupun tidak langsung.
Rusia dan Iran mendukung rezim Assad, sementara negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, mendukung kelompok oposisi. Intervensi Rusia pada tahun 2015 membantu Assad merebut kembali kota-kota penting seperti Aleppo.
Meski ISIS telah dikalahkan secara militer, konflik di Suriah belum sepenuhnya berakhir. Ketegangan antara kelompok etnis, agama, dan politik masih menjadi tantangan besar bagi stabilitas negara.
Era Baru dan Bendera Kemerdekaan
Pada akhir tahun 2024, rezim Bashar al-Assad akhirnya tumbang setelah bertahun-tahun menghadapi tekanan domestik dan internasional. Sebagai simbol perubahan, oposisi memperkenalkan bendera baru yang disebut sebagai “bendera kemerdekaan”.
Bendera ini terdiri dari tiga warna horizontal: hijau, putih, dan hitam, dengan tiga bintang merah yang mewakili wilayah Aleppo, Damaskus, dan Deir el-Zor. Bendera ini mengingatkan pada perjuangan rakyat Suriah untuk merdeka dari kekuasaan Prancis pada abad ke-20.
Sejarah Suriah mencerminkan perjalanan panjang dari masa kejayaan peradaban kuno hingga era modern yang penuh konflik. Meskipun saat ini negara tersebut masih menghadapi tantangan besar, harapan untuk perdamaian dan rekonsiliasi tetap hidup di hati rakyatnya.
Suriah bukan hanya saksi bisu peradaban dunia, tetapi juga contoh nyata bagaimana ketahanan dan perjuangan bisa terus berlanjut meski di tengah kesulitan terbesar.