LENSAPION – Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor urut 1, Ridwan Kamil dan Suswono (RIDO), menghadapi ancaman besar dalam upaya mereka menggugat hasil Pilkada Jakarta 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Tantangan ini berasal dari aturan hukum yang termuat dalam Pasal 158 Undang-Undang Pilkada.
Menurut ketentuan Pasal 158 huruf C, peserta pemilihan gubernur di provinsi dengan jumlah penduduk antara 6 hingga 12 juta jiwa hanya bisa mengajukan gugatan ke MK jika selisih total suara sah dengan pasangan lain tidak melebihi satu persen.
Mengacu pada jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Pilgub Jakarta 2024 yang mencapai 8.214.007 orang, aturan ini berlaku untuk pemilihan di Jakarta.
Selisih Suara yang Jauh
Berdasarkan hasil rekapitulasi suara yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, pasangan Pramono Anung dan Rano Karno (Pramono-Rano) meraih suara terbanyak dengan 2.183.239 suara atau 50,07 persen.
Sementara itu, pasangan RIDO hanya memperoleh 1.718.160 suara atau 39,40 persen. Selisih suara sekitar 10 persen ini jauh melampaui ambang batas satu persen yang diatur dalam UU Pilkada, sehingga menyulitkan RIDO untuk memenuhi syarat formal pengajuan gugatan.
Dalam rapat pleno KPU yang menetapkan hasil Pilgub Jakarta 2024, kubu RIDO menyampaikan sejumlah catatan keberatan terhadap proses pemilihan. Mereka menuding KPU tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu.
Setelah menyampaikan keberatan, saksi dari RIDO memilih untuk meninggalkan rapat pleno (walk out).
Meski demikian, kubu RIDO tetap berencana untuk menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan hasil Pilgub Jakarta ke MK. Langkah ini dilakukan untuk memperjuangkan apa yang mereka pandang sebagai keadilan dalam proses pemilu.
Analisis Peluang Gugatan
Menurut Haykal, seorang peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), peluang RIDO untuk menggugat hasil Pilgub Jakarta 2024 memang kecil jika mengacu pada selisih suara yang besar.
Namun, ia menilai tujuan gugatan kubu RIDO bukanlah untuk membatalkan kemenangan Pramono-Rano sepenuhnya, melainkan untuk mendorong agar Pilgub Jakarta dilaksanakan dalam dua putaran.
“Upaya yang ingin dilakukan kubu RK-Suswono adalah bukan membatalkan posisi Pramono-Rano sebagai peringkat pertama. Namun ingin untuk membatalkan kemenangan satu putatan oleh Pramono-Rano,” ujar Haykal.
Haykal menjelaskan bahwa celah hukum yang memungkinkan gugatan ini terletak pada tipisnya perolehan suara Pramono-Rano di atas ambang batas 50 persen.
Jika sebagian suara pasangan tersebut dibatalkan oleh MK sehingga total suara mereka turun di bawah 50 persen, maka Pilgub Jakarta harus dilanjutkan ke putaran kedua sesuai aturan.
Peran Hakim MK dalam Menentukan Hasil
Proses pengajuan gugatan di MK akan sangat bergantung pada dalil-dalil yang disampaikan oleh pihak RIDO sebagai pemohon.
Haykal menambahkan bahwa tugas MK adalah mencermati setiap argumen yang diajukan untuk menentukan apakah ada dasar yang cukup untuk membatalkan sebagian suara Pramono-Rano.
“Karena itu yang kemudian akan dinilai MK, apakah ada potensi ketika MK membatalkan suara atau ketetapan yang sudah dikeluarkan KPUD Jakarta,” jelasnya.
Nasib gugatan ini pun bergantung pada keputusan hakim konstitusi. Jika MK menilai dalil yang diajukan kubu RIDO cukup kuat, bukan tidak mungkin kemenangan satu putaran Pramono-Rano akan dibatalkan.
Namun, jika dalil tersebut dinilai lemah, maka gugatan dapat ditolak dan hasil Pilgub Jakarta akan tetap seperti yang telah ditetapkan KPU.
Kontroversi dan Dinamika Politik
Kisruh pasca-Pilgub Jakarta 2024 ini mencerminkan dinamika politik yang rumit. Dengan selisih suara yang signifikan, upaya RIDO untuk menggugat hasil pemilu tampak lebih sebagai langkah politik daripada strategi hukum yang benar-benar berpeluang besar.
Namun, langkah ini juga menunjukkan bahwa proses demokrasi Indonesia masih membuka ruang bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk mencari keadilan melalui jalur hukum.
Bagi masyarakat Jakarta, perselisihan ini menjadi ujian terhadap integritas pemilu serta kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara dan pengadil pemilu.
Apapun hasilnya, peristiwa ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk terus memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia.