LENSAPION – Baru-baru ini, berita mengenai dugaan tindakan kekerasan oleh seorang calon wakil gubernur (cawagub) Papua berinisial YB menjadi sorotan publik.
Ia dituduh memaksa istrinya, GR, untuk melakukan hubungan seksual bertiga atau thr33some bersama kakak kandung GR. Kasus ini memicu perdebatan luas, termasuk pandangan dari para pakar di bidang seksologi dan psikologi.
Kronologi Kejadian
Peristiwa tersebut dikabarkan bermula ketika YB meminta GR untuk menemuinya di sebuah hotel. Ia juga diduga memaksa istrinya mengonsumsi minuman keras, tetapi GR menolak.
Karena merasa curiga, GR memeriksa kamar hotel yang dimaksud dan mendapati kakak perempuannya dalam kondisi mabuk berat.
Setelah itu, YB disebut memaksa GR melakukan thr33some bersama kakak kandungnya. Namun, GR menolak dan segera meninggalkan hotel. Tidak berhenti di situ, YB kemudian mendatangi rumah GR, yang berujung pada tindakan kekerasan fisik.
GR dilaporkan ditarik tangannya hingga terjatuh, rambutnya dijambak, dan ditampar sebanyak dua kali hingga kehilangan kesadaran.
GR akhirnya melaporkan insiden ini ke pihak berwajib. YB kini menghadapi ancaman hukuman berdasarkan Pasal 46 juncto Pasal 8 huruf a, serta Pasal 44 ayat 1 juncto Pasal 5 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Perspektif Seksologi Mengenai Three50me
Dalam diskusi terkait isu ini, seksolog dr. Haekal Anshari, M. Biomed (AAM) memberikan pandangannya mengenai hubungan seksual seperti thr33some.
Ia menjelaskan bahwa dari sudut pandang seksologi, aktivitas seksual apapun, termasuk thr33some, hanya bisa dilakukan jika ada kesepakatan penuh antara semua pihak yang terlibat.
Dr. Haekal menjelaskan bahwa kesepakatan seksual, atau yang disebut sexual consent, menjadi aspek fundamental dalam hubungan seksual. Hal ini berarti persetujuan harus diberikan secara sadar, tanpa paksaan, baik secara verbal maupun tertulis.
Selain kesepakatan, aspek kesehatan juga harus menjadi pertimbangan utama. Ia menekankan pentingnya memastikan bahwa setiap pihak yang terlibat tidak membawa penyakit menular seksual, baik berupa virus maupun bakteri, yang berisiko membahayakan pasangan lainnya.
Lebih jauh, dr. Haekal juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan nilai-nilai atau prinsip pribadi. Meskipun secara teknis thr33some bisa dilakukan jika memenuhi syarat tertentu, individu harus bertanya pada diri sendiri apakah tindakan tersebut sesuai dengan nilai dan keyakinan yang mereka pegang.
Pandangan Psikologi Tentang Batasan dalam Hubungan
Psikolog Pingkan C. B. Rumondor, M. Psi, yang turut memberikan pendapat dalam diskusi ini, menegaskan bahwa memaksakan kehendak dalam hubungan seksual merupakan pelanggaran serius terhadap batasan personal seseorang.
Pingkan menegaskan, jika aktivitas seksual dilakukan tanpa persetujuan atau bertentangan dengan kehendak salah satu pihak, hal tersebut jelas melanggar batasan pribadi. Selain melukai secara fisik, tindakan seperti itu dapat berdampak buruk pada kesehatan mental korban.
Ia juga menekankan bahwa keputusan untuk berpartisipasi dalam aktivitas seksual harus selaras dengan nilai-nilai pribadi. Pasangan yang memiliki perbedaan keinginan dalam hal ini perlu mencari solusi yang tidak melibatkan pemaksaan atau pelanggaran batasan.
Pinkan menambahkan, jangan pernah memaksakan diri untuk menyenangkan pasangan, terutama jika kita sendiri merasa tidak nyaman atau tidak setuju. Hal ini dapat menyebabkan tekanan emosional yang berdampak jangka panjang.
Dampak Psikologis Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan yang dialami GR bukan hanya masalah pelanggaran fisik, tetapi juga dapat meninggalkan luka mendalam secara emosional. Menurut para psikolog, korban KDRT sering kali mengalami trauma berkepanjangan, seperti kecemasan, depresi, hingga gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder).
Selain itu, kasus ini juga menimbulkan perdebatan lebih luas tentang peran dan tanggung jawab pasangan dalam hubungan rumah tangga. Hubungan yang sehat seharusnya dibangun di atas dasar saling menghormati dan menghargai batasan masing-masing individu.
Upaya Penegakan Hukum
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya hukum dalam melindungi hak-hak korban KDRT. Dengan adanya undang-undang yang jelas, seperti UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, diharapkan para pelaku kekerasan dapat dihukum setimpal dengan perbuatannya.
Bagi masyarakat, kasus ini juga menyoroti pentingnya kesadaran akan hak-hak dalam hubungan rumah tangga, termasuk hak untuk berkata “tidak” ketika merasa dipaksa atau diperlakukan tidak adil.
Kisah tragis yang melibatkan YB dan GR menggambarkan bagaimana penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran batas pribadi dapat menghancurkan hubungan rumah tangga.
Dalam konteks ini, pandangan seksolog dan psikolog memberikan wawasan penting tentang pentingnya kesepakatan, kesehatan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai pribadi dalam hubungan seksual.
Lebih dari itu, kasus ini mengingatkan kita akan perlunya penegakan hukum yang adil untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, serta pentingnya meningkatkan edukasi masyarakat tentang hubungan yang sehat dan setara.